Sebenarnya wajar-wajar saja jika suporter Manchester United di Indonesia menunjukkan loyalitasnya. Meski sebagian besar dari mereka mungkin belum pernah ke Old Trafford. Meski mereka mungkin seumur hidupnya hanya menonton The Red Devils di televisi.
Hal itu bukan alasan untuk tidak memperlihatkan loyalitas. Justru perlu dianggap wajar jika para penonton liga Eropa di Indonesia merasa memiliki klub-klub di Manchester, Paris, Amsterdam, Munchen, atau Madrid. Mereka memang mungkin “pemilik” sesungguhnya klub-klub tersebut. Setidaknya, merasa memiliki. Bagaimana bisa?
Asia sebagai pasar
The World is Flat. Demikian tajuk buku Thomas Friedman. Tajuk yang cukup mendeskripsikan situasi dunia saat ini. Bumi memang masih bulat, tapi dunia tidak. Dunia menjadi datar. Sedatar layar telepon genggam atau komputer jinjing mutakhir. Dan memang dua perangkat itu yang membuat dunia serasa datar.
Jarak antara Jakarta dan Manchester memang jauh. Namun dengan perkembangan teknologi digital, seseorang yang berada di Jakarta dapat dengan mudah mengikuti apa yang terjadi di Manchester.
Perkembangan teknologi ini pula yang membuat sepak bola Eropa lebih cepat dikenal publik di luar Eropa, terutama Asia. Jörg Daubitzer, Direktur Pemasaran DFL Sports Enterprises, juga menyatakan bahwa sejak 2008 pasar sepak bola Eropa di Asia terus berkembang.
Davan Feng, dalam tulisan “The Beautiful Digital Game in Asia” mencatat ada 820 juta penggemar sepak bola Eropa di Asia. Premier League merupakan liga yang memiliki penggemar terbesar di Asia.
Glenn Risum juga pernah menulis laporan untuk Futuresport.co tentang hal ini dengan tajuk “Why European Football Clubs Look to the Asian Market”. Ada sejumlah catatannya yang menarik disimak.
Pertama, bahasa dan sensor internet bukanlah masalah. Tiongkok menjadi contoh.
Negara ini dikenal sebagai negara yang sulit ditembus sepak bola Eropa sebagai pasar. Persoalan ini menjadi makin pelik karena negara tersebut melakukan sensor terhadap beberapa situs media sosial seperti Facebook dan Twitter. Ini menyulitkan interaksi dengan penggemar sepak bola Eropa di Cina.
Namun hal itu berubah sejak 2009. Pada tahun itu layanan Sina Weiba, media sosial yang bisa digunakan di Cina, diluncurkan. Melalui media sosial itu-lah sejumlah klub Eropa melakukan interaksi dengan penggemarnya di Tiongkok. FC Bayern Munchen bahkan membuat situs khusus berbahasa Cina untuk penggemar Bayern di sana. Meski sampai saat tulisan ini dibuat, situs www.fcbayern.cn masih sulit diakses.
Laporan kedua yang menarik disimak adalah tentang Jerman. Usai menjuarai Piala Dunia 2014, Bundesliga menuai popularitas di Asia.
Menyadari hal tersebut, FC Bayern menyusul Liverpool, Tottenham Hotspur, dan Arsenai untuk membuka gerai di Tmall.com, salah satu situs jual beli terbesar di Tiongkok. Selain itu, catatan lain Glenn Risum adalah mengenai sponsor. Beberapa sponsor di seragam klub Premier League berasal dari Asia, simak saja daftar berikut.
- Chelsea FC: Yokohama (Jepang)
- Manchester City: Etihad Airways (Uni Emirat Arab)
- Arsenal FC: Fly Emirates (Uni Emirat Arab)
- Tottenham FC: AIA (Hong Kong)
- Everton FC: Chang (Thailand)
Apa artinya semua hal tersebut? Apakah Asia (termasuk Indonesia) sekadar pasar belaka? Apakah Asia sekadar angka-angka statistik di divisi pemasaran klub? Adakah hubungannya dengan loyalitas suporter terhadap klub?
Bukan sekadar pasar
Diego Valdes dari Sport Business Institute mencatat bahwa penggemar sepak bola Asia sangat tergantung dengan media sosial untuk informasi mutakhir mengenai sepak bola. Hal ini tampaknya disadari benar oleh klub-klub Eropa.
Untuk melakukan ekspansi, mereka rela membuat situs atau media sosial yang berbahasa lokal. Juventus memiliki situs khusus berbahasa Indonesia. Tottenham Hotspur memiliki akun Twitter resmi berbahasa Indonesia.
Tidak hanya itu, untuk mempromosikan klub dan memanjakan penggemar, beberapa klub Eropa rela melakukan tur pramusim ke sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia. Para penggemar pun gembira. Mereka bisa menyaksikan klub kesayangannya tanpa dimediasi layar kaca.
Dari perspektif pemasaran, para penggemar sepak bola Asia (termasuk Indonesia) tentu merupakan aset yang harus dijaga. Pasar ini masih akan berkembang dan menguntungkan. Para penggemar ini, berpotensi menggemukkan rekening klub-klub Eropa. Benarkah sekadar demikian?
Justru sebaliknya, para penggemar sepak bola Eropa di Indonesia inilah yang “memiliki” klub-klub Eropa. Sebagai “pemilik”, mereka punya kuasa untuk menggerakkan atau mematikan kompetisi dan klub di Eropa.
Dari segi jumlah saja, para penggemar Liverpool dan Arsenal di Indonesia lebih banyak dari di Inggris. Pada hari pertandingan berlangsung pun, para penonton di Indonesia sangat aktif di media sosial.
Bagaimana jika penggemar sepak bola di Indonesia berhenti men-follow akun Arsenal dan Liverpool di Twitter? Bagaimana jika para suporter ini berhenti membeli jersey asli klub? Bagaimana jika mereka mogok menonton sepak bola Eropa? Tentu hal tersebut menjadi bencana untuk klub-klub Eropa.
Jadi, wajar apabila para suporter ini kerap terlalu berlebihan menunjukkan loyalitasnya. Mereka adalah “pemilik” klub-klub tersebut. Apalagi jika ekonomi di Indonesia terus tumbuh, para suporter ini bisa membeli lebih banyak lagi aset klub. Mereka bisa “membeli” pertandingan big match, jersey dan merchandise asli, dan tentu saja, membeli waktu luang untuk menonton sepak bola.
Media Sosial yang memangkas jarak
Selain alasan tersebut, tentu ada hal lain yang membuat penggemar Barcelona di Indonesia menjadi sangat loyal dengan klub di Spanyol tersebut. Salah satu pemicunya adalah media sosial. Media sosial memangkas jarak.
Penggemar sepak bola di Yogyakarta bisa dengan mudah memantau pergerakan transfer pemain di Eropa lewat media sosial. Semua informasi mengenai klub Eropa pun mudah diperoleh dengan mengikuti akun media sosial klub yang digemari. Dengan kata lain, media sosial membuat penggemar merasa dekat dengan klub.
Perasaan dekat inilah yang membuat suporter rela membela klub yang markasnya berjarak ribuan mil dari kota tempat tinggalnya. Sama seperti misalnya Anda memiliki kedekatan dengan orang tua, keluarga, sahabat, atau teman. Anda tentu akan membela apabila mereka diejek.
Selain itu, ada alasan lain yang dapat menjelaskan mengapa para suporter sangat loyal dengan klub favoritnya. Hal ini masih terhubungkan dengan media sosial yang membuat jarak penggemar dan klub menjadi dekat.
Perasaan dekat ini mengikat emosi suporter dengan klub. Dengan merasa dekat, para suporter merasa terwakili oleh klub sepak bola favorit mereka. Perasaan terwakili inilah yang membuat suporter akan geram jika klub yang dibelanya diejek habis-habisan.
Sama seperti apabila Indonesia diejek oleh negara lain. Para warga negara Indonesia tidak akan terima. Hal ini karena adanya kedekatan emosi dengan tanah air. Meskipun tentu reaksi terhadap ejekan tersebut berbeda-beda. Ada yang menanggapinya dengan mengajak kelahi. Ada yang menanggapinya dengan komedi.
Selain itu, perlu juga diketahui bahwa loyalitas berlebihan yang dihasilkan dari kedekatan emosional tidak melulu negatif. Dengan menjadi penggemar loyal klub-klub Eropa, suporter dapat mendapatkan pengalaman emosional yang tidak memiliki dampak berlebih terhadap hidup mereka.
Kekalahan Arsenal dari Manchester United mungkin akan membuat mood suporter Arsenal buruk sepanjang hari. Namun, pada hari-hari berikutnya, perasaan tersebut akan hilang. Bahkan, menjadi penggemar klub-klub papan bawah bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Suporter akan lebih banyak mengalami kekecewaan daripada kebahagiaan.
Akan tetapi, pengalaman itu lah yang justru penting didapat dengan menjadi penggemar klub sepak bola. Anda akan mengalami kebahagiaan dan kekecewaan yang tidak terlalu berdampak terhadap hidup. Pengalaman mengalami berbagai perasaan inilah yang akan membuat penggemar sepak bola terlatih menghadapi berbagai situasi dalam hidup yang terus berputar.
Penggemar Arsenal misalnya. Dengan pengalaman selama bertahun-tahun, saya rasa akan membuat mereka mudah menertawakan hidup. Bahkan pada kesialan-kesialan yang menimpa diri sendiri. Sama seperti mereka menertawakan kesialan-kesialan Arsenal pada setiap musimnya.
Begitulah, loyalitas penggemar sepak bola adalah sebuah kewajaran. Meski sebagian besar suporter sepak bola di Indonesia memiliki hubungan LDR dengan klub Eropa, mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Para suporter layar kaca (layar komputer jinjing, telepon genggam, atau televisi) ini memiliki kuasa. Mereka mungkin tidak dapat menentukan kebijakan transfer atau memiliki saham klub. Tapi jangan salah. Jangan-jangan, gaji pemain di klub favorit Anda, berasal dari hasil penjualan jersey kepada para penggemar di Asia.