Italia sudah berkali-kali membuktikan bahwa tim ini tidak bisa dan tidak boleh diremehkan. Setiap kali tim ini disepelekan, pada saat itu juga Gli Azzuri akan membalikkan prediksi dan membuktikan bahwa semua penilaian itu keliru.
Tahun 1980, dua tahun sebelum pergelaran Piala Dunia di Spanyol, sejumlah klub di Italia terlibat skandal Totonero; skandal pengaturan pertandingan di kasta Serie A dan Serie B. Banyak yang menduga Italia tidak akan mampu berbuat banyak pada turnamen tersebut.
Namun kenyataannya, anak asuh Enzo Bearzot mampu keluar sebagai juara setelah mengandaskan Jerman Barat di final serta melambungkan nama Paolo Rossi yang sebelumnya diskors oleh federasi karena terlibat skandal.
Selang 24 tahun kemudian Italia seolah mengalami de javu. Sejumlah klub di Serie A Italia, termasuk Juventus dan A.C Milan –tim yang menjadi pemasok pemain paling banyak ke timnas Italia ketika itu– tersandung kasus Calciopoli.
Tapi juara dunia empat kali ini lagi-lagi membuktikan skandal tersebut sama sekali tidak memengaruhi persiapan mereka. Italia mengangkat trofi Piala Dunia setelah menang adu penalti kontra Prancis.
Pada turnamen Piala Eropa terakhir di Polandia-Ukraina, (lagi-lagi) kasus serupa menyeruak. Tak dinyana, Italia mampu menjejakkan kakinya ke final. Hanya magis Spanyol saja yang menghentikan anak asuhan Cesare Prandelli untuk membawa pulang trofi Henri Delaunay ke Italia.
Pada pergelaran Piala Eropa tahun ini relatif tidak ada skandal serupa yang mengganggu persiapan Gli Azzuri. Masalah yang dihadapi kali ini lebih pada masalah internal tim. Yakni keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) atau pilihan pemain yang seolah menempatkan tim ini sebagai underdog.
Setujukah Anda 23 nama yang dibawa oleh Antonia Conte adalah skuat paling medioker jika dibandingkan dengan komposisi pemain Italia dalam beberapa dekade terakhir?
Pada Euro 1996 mayoritas skuat Italia masih dihuni oleh nama-nama yang berhasil mengantarkan tim ini ke final Piala Dunia dua tahun sebelumnya di Amerika Serikat.
Generasi emas Italia seperti Francesco Totti, Paolo Maldini, Alessandro Del Piero, Alessandro Nesta, Fabio Cannavaro, Filippo Inzaghi, Andrea Pirlo, Gianluigi Bufffon secara bergantian mengisi skuat utama dalam rentang periode milenium. Sebelum pada 2012 lalu, kombinasi pemain-pemain muda bertalenta dan sisa-sisa kejayaan pemain-pemain veteran membawa si biru ke partai puncak.
Pada pergelaran Piala Eropa ke-15 di Prancis kali ini, praktis, hanya lini belakang yang saya pikir menjadi titik paling menjanjikan. Kecendrungan Antonio Conte memakai tiga bek di depan Gianluigi Buffon menjadi jaminan bagi trio Barzagli-Bonucci-Cheillini untuk mengisi 3 slot di garis pertahanan. Setidaknya pengalaman dan kebersamaan mereka selama sekian tahun menjadi nilai plus bagi tim.
Lain soal ketika melihat nama-nama di lini tengah, Claudio Marchisio yang menjadi tumpuan utama menderita cedera. Andrea Pirlo dengan alasan usia yang tak lagi muda harus berat hati ditinggalkan oleh Conte. Naasnya, Marco Veratti sosok yang memiliki karakter permainan serupa Il Metronom malah ikut-ikutan cedera.
Praktis di sektor ini kita lebih banyak mengenal sosok minim pengalaman di level internasional dan performa naik-turun di klubnya masing-masing. Federico Bernadeschi, Marco Parolo, Emmanuele Giaccherini, serta Stefano Sturaro.
Padahal beberapa tahun silam Italia tak pernah kehabisan gelandang-gelandang dengan berbagai macam tipe. Tangguhnya Gennaro Gattuso berpadu elegansi Andrea Pirlo bercampur dengan kecepatan Mauro Camoranesi pernah mengisi skuat Gli Azzuri.
Di lini depan hampir serupa, Conte tak mempunyai banyak pilihan. Grazziano Pelle, Eder, Simone Zaza, Ciro Immobile, serta Stephen El Shaarawy adalah nama-nama minor apabila dibandingkan dengan kepicikan dan ketajaman Filippo Inzaghi di depan gawang lawan atau finishing touch mematikan ala Luca Toni. Dan mengenaskan ketika mengetahui tak satu pun dari nama-nama penyerang yang dibawa mantan pelatih Juventus tersebut mencetak lebih dari dua digit gol pada musim ini.
Bahkan pemain-pemain yang memiliki rating tinggi berdasarkan catatan WhoScored seperti Giancomo Bonaventura hingga Leonardo Pavelotti tak masuk ke dalam skuat.
Lalu apakah peluang Italia sudah habis?
Italia jelas bukan Jerman yang kerapkali menjadi unggulan teratas di setiap turnamen dengan semangat determinasi mereka. Tabiat Italia seringkali menunjukkan tim ini tak pernah layak diunggulkan.
Jika pun menang, Italia tak pernah menang secara meyakinkan, bahkan seringkali nasib mereka ditentukan oleh tim lain atau faktor keberuntungan. Termasuk ketika memenangi satu-satunya Piala Eropa pada tahun 1968 saat di semifinal menang melalui adu koin kontra Uni Soviet.
Yang pasti, suatu hal yang dapat kita nilai acapkali Italia berlaga di turnamen besar ialah; jika Italia dalam periode buruk, tim ini bahkan tidak akan mampu lolos dari penyisihan grub atau kalah secara menyakitkan dari tim selevel Korea Utara, Kosta Rika, atau Slovakia, misalnya.
Namun saat dewi keberuntungan dan nasib baik menaungi tim ini, adalah sebuah kesalahan besar bagi siapa pun yang menyepelekan kemampuan Gli Azzuri untuk menjadi juara. Bahkan seperti saat ini, ketika Italia diisi oleh para medioker sekalipun(?)