Salah Kaprah Nilai Pasar Pesepakbola

Bursa transfer paruh musim Liga 1 sudah resmi dibuka. Tak butuh waktu lama, sejumlah klub telah merekrut beberapa penggawa anyar menghadapi paruh kedua kompetisi.

Mesti diakui, momen ini bisa menjadi jalan pintas bagi para kontestan untuk memperkuat diri. Baik mereka yang sedang berebut titel juara maupun mereka yang mati-matian berjuang lepas dari degradasi.

Adanya bursa transfer juga menimbulkan keriuhan di media terkait gosip-gosip yang beredar. Ada yang menjadi kenyataan, ada pula yang menguap seiring waktu berjalan.

Penggunaan media sosial di era sekarang juga memudahkan khalayak untuk mencari informasi ke mana Si A pergi atau ke mana Si B berlabuh.

Beberapa akun bahkan dinilai cukup baik kredibilitasnya dalam menginformasikan proses kepindahan pemain.

Terlebih, akun-akun itu dinilai tidak berpihak sehingga informasi yang mereka dapat disebar tanpa menimbulkan konflik.

Nama pemain, klub asal, klub tujuan, posisi, umur, dan market value alias nilai pasarnya menjadi hal yang sering dipublikasikan oleh akun-akun media sosial, entah lewat Twitter atau Instagram.

Dari dua platform itu sendiri, atensi warganet pasti tersita. Lebih-lebih terkait pemain dari klub favoritnya.

Walau demikian, ada satu variabel yang perlu dicermati. Apalagi kalau bukan nilai pasar seorang pemain.

Banyak pemain tertulis dengan nilai pasar miliaran Rupiah. Akun-akun media sosial itu sendiri biasanya mengacu kepada salah satu laman terpercaya yaitu Transfermarkt.

Laman yang sudah memiliki versi bahasa Indonesia itu memang dikenal sebagai salah satu laman yang secara konsisten menampilkan nilai pasar dari seorang pesepakbola.

Sayangnya, banyak pihak yang belum paham dengan maksud dari nilai pasar tersebut.

Padahal, beberapa akun media sosial yang memunculkan berita atau gosip transfer sudah memberi keterangan bahwa nilai pasar bukanlah gaji pemain atau bahkan banderol kepindahan sang pemain.

BACA JUGA:  Jangan Ada Penundaan Kompetisi

Nilai pasar yang tertulis di Transfermarkt biasanya merupakan hasil perhitungan dari nilai-nilai terkait sang pemain yang meliputi usia, durasi kontrak, klausul-klausul yang tertera dalam kontrak, sampai kualitasnya.

Pertanyaannya, apakah nilai pasar ini relevan bagi pesepakbola di Indonesia?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kebanyakan pemain di Indonesia dikontrak per musim kompetisi dan dalam jangka pendek.

Belum pastinya waktu perhelatan kompetisi berlangsung membuat klub-klub yang ada tidak mau ambil risiko dengan mengontrak pemain secara jangka panjang.

Jika pun ada, bisa dipastikan jumlahnya sangat sedikit. Mungkin hanya 5 persen dari seluruh pesepakbola yang beraksi di kancah nasional.

Sisa kontrak tentu kurang relevan dengan sepakbola kita karena seperti yang sudah disebutkan tadi, kontrak pemain lokal umumnya kontrak jangka pendek.

Perpindahan-perpindahan pemain biasanya terjadi setelah mereka habis kontrak dengan klub lamanya alias tak ada biaya transfer yang dikeluarkan klub baru untuk memboyongnya.

Jarang sekali ada pesepakbola Indonesia yang perpindahannya memunculkan nominal transfer.

Klausul yang ada dalam kontrak pun jarang sekali dipublikasikan ke masyarakat umum. Mungkin cuma sebagian klub yang berani memunculkan nominal gaji pemain dan sebagainya.

Kemudian, ada keterkaitan antara nilai pasar dengan kualitas si pemain. Namun tak jarang, nilai pasar pemain B yang kualitasnya lebih rendah dibanding pemain A malah tinggi.

Salah satu faktornya tentu saja nama besar klub. Si B yang bermain di kesebelasan papan atas justru dinilai lebih ketimbang Si A yang merumput bareng klub semenjana.

Bahkan dari Liga 2, ada sejumlah kasus di mana pemain dengan nilai pasar lebih tinggi hanya menjadi cadangan pemain-pemain yang tak memiliki nilai pasar di situs Transfermarkt.

Bisa jadi, observasi yang dilakukan laman teememuka asal Jerman itu memang belum menyeluruh. Terlebih sepakbola kita jauh dari kata top.

BACA JUGA:  Sepakbola yang Tidak Penting di Indonesia

Salah kaprah pemahaman penggilan sepakbola nasional akan nilai pasar pemain sebenarnya bisa menjadi alasan bagi media-media yang ada, khususnya akun media sosial untuk tak membeberkan nilai pasar si pemain.

Pasalnya, banyak suporter yang kemudian memprotes klub karena dianggap membeli pemain yang terlalu mahal.

Penggemar si kulit bundar di kancah nasional pun sebenarnya akan lebih merasa diedukasi apabila klub berkenan menginformasikan nilai transfer pemain (jika ada), atau nominal gaji pemain.

Dengan begitu, publik bisa mengetahui lebih jelas tentang situasi finansial klub kesayangannya berikut nilai kontrak si pemain.

Memang, tidak ada kewajiban bagi klub-klub nasional untuk melakukannya. Namun mengingat sekarang sudah memasuki era modern, rasanya aneh bila gaya rahasia seperti zaman dahulu dipertahankan.

Adanya informasi mengenai gaji pemain juga mendorong khalayak untuk ikut melakukan kontrol. Utamanya terkait performa si pemain.

Memang hanya Bali United, kesebelasan nasional yang sudah go public sehingga harus membuat laporan keuangannya secara terbuka tiap tahun.

Namun bila hal serupa dilakukan klub lainnya, profesionalitas yang diincar serta salah kaprah perihal nilai pasar yang berkelindan takkan berlarut-larut.

Komentar
Mahasiswa semester akhir asal Solo yang tengah berwirausaha di bidang keuangan. Bisa disapa via akun Twitter @achaldair