Ego Para Maestro dan Tikungan Sejarahnya

Seorang pesepakbola mendapat label maestro umumnya karena punya segudang kelebihan. Ia cerdas, memiliki teknik mumpuni, bermental tangguh dan sanggup memunculkan keajaiban di atas lapangan hijau pada saat merumput.

Ada banyak sekali pesepakbola dunia yang dianugerahi publik dengan sebutan itu sebab di kaki merekalah, tergantung banyak harapan dan ekspektasi. Publik senantiasa menunggu hal-hal memukau yang dapat mereka sajikan sehingga kesempurnaan dari permainan sepakbola menyeruak.

Pada suatu alur cerita permainan, seorang maestro lazim menjadi protagonis. Dengan kepala atau kakinya, ia diharap dapat menerobos barisan lawan, memberi umpan-umpan menakjubkan, serta mencetak gol. Di hadapan penonton, magi seperti itu adalah syarat sah menjadi seorang maestro.

Para maestro lapangan hijau punya peran besar di balik tersingkapnya esensi permainan sepakbola. Ketika mereka berlaga, ada gairah atau nyawa yang tidak dapat didefinisikan secara ilmiah. Eksesnya bisa berupa daya tarik yang tak berwujud.

Sudah menjadi hukum alam bahwa tim akan membangun kekuatannya di sekeliling sang maestro. Ia bak pusat tata surya dan penggawa lain adalah planet serta bintang-bintang yang mengelilinginya. Padahal realitanya, tim dibentuk untuk dipertanggungjawabkan kepada fans.

Meski punya daya tarik luar biasa, para maestro sepakbola juga identik dengan ego luar biasa. Dalam tuntutan kolektivitas permainan, ego mereka justru kerap meluap-luap tanpa kendali. Seakan-akan, nama mereka lebih nyaring terdengar ketimbang kebesaran tim yang diperkuatnya.

Walau punya kemampuan elok dan karisma yang berpendar, tak semua maestro lapangan hijau yang sukses menekuni dunia kepelatihan. Di dalam olahraga sebelas lawan sebelas ini, pemain dan pelatih akan selalu bersinggungan. Namun menjadi pemain dan pelatih adalah perkara yang berbeda 180 derajat. Lebih-lebih jika membahas kesuksesan.

Di sinilah para maestro mendapatkan tantangan yang sifatnya historis sekaligus futuristis. Cara mereka mengejawantahkan tantangan-tantangan itu akan mencerminkan semesta berpikir mereka saat menekuni karier kepelatihan. Momen-momen ini merupakan tikungan sejarah penting guna mengenali karakter kepelatihan mereka di masa yang akan datang.

BACA JUGA:  Logika Kecepatan Einstein dan Naluri Pembunuh Inzaghi

Maestro dan Sejarah Permainannya

Ketika menangani suatu kesebelasan, puluhan ego berserakan dengan visi bermain yang berbeda-beda. Di sini, tugas pelatih adalah mengelola ego-ego tersebut agar visi tim lebih diutamakan. Tujuan jangka pendeknya, skema permainan berjalan sesuai keinginan pelatih yang sudah merancangnya sedemikian rupa guna mengeluarkan segala kelebihan yang dimiliki pemainnya. Dan tujuan jangka panjangnya adalah meraih prestasi.

Tetapi kita juga harus menyadari bahwa ego seorang pelatih sendiri perlu dikelola. Ia mesti selesai dengan ego-egonya semasa jadi pemain. Pada bagian ini, sayangnya masih banyak maestro yang tergoda oleh romantisme kejayaan masa lampau mereka. Romantisme sejarah tanpa rasionalitas yang dialami para maestro, terkadang menjadi stimulus negatif kala menukangi suatu kesebelasan.

Ketika stimulus negatif itu menyusupi ego mereka yang kini duduk sebagai pelatih, mereka akan terbawa suasana masa lampau. Derasnya pujian yang dulu menghampiri mereka tiba-tiba menghantui tuntutan kesuksesan di posisi yang baru. Melihat anak buahnya bekerja, tidak jarang membuat mereka gatal ingin turun langsung ke lapangan dan menuntaskan pekerjaan dengan kaki-kaki magisnya.

Memang, pada kaki seorang maestro, realisme sepakbola bisa berjodoh dengan sisi magis. Namun di dunia kepelatihan, yang ada di depan mata adalah tantangan yang serba kalkulatif. Contohnya, ketika mempersiapkan tim untuk menghadapi suatu pertandingan, dibutuhkan racikan taktik ataupun program pelatihan yang detail, relevan, dan rasional. Di posisi ini, kemolekan kaki para maestro tak berlaku lagi.

Pada nama-nama seniman lapangan hijau seperti Johan Cruyff, Diego Maradona, dan Michel Platini, kita dibuat percaya pada estetika individual dari kancah sepakbola. Ketika masih aktif bermain, nama-nama besar tersebut memiliki ego yang berbeda jika dibandingkan dengan pemain yang atribut permainannya biasa-biasa saja.

Lantas, apakah bakat sepakbola dan distingsi psikologis itu akan menjamin para maestro mendulang kesuksesan saat berkiprah di ranah kepelatihan? Tentu saja tidak. Sebab ketika menempuh opsi kepelatihan, idealisme permainan para maestro dibenturkan pada kenyataan yang mesti dihadapi tanpa kaki-kakinya. Itu membuat mereka butuh energi lebih untuk menyesuaikan cara kerja yang baru.

BACA JUGA:  Kekaguman terhadap Zidane

Maka, tidak mengherankan kalau nama-nama besar di dunia sepak bola tidak selalu berhasil kala menempuh karier sebagai juru taktik. Kita tahu, sebagai pelatih, prestasi Maradona semenjana. Entah saat menukangi tim nasional Argentina atau sejumlah klub profesional. Begitu pula dengan Platini yang dianggap gagal saat membesut timnas Prancis dan akhirnya meninggalkan dunia kepelatihan.

Praktis, dari tiga nama yang saya sebutkan sebagai maestro sepakbola (tentu pembaca bisa menyebutkan nama-nama lainnya), cuma Cruyff yang berhasil menjebol dinding pembatas perihal kesuksesan sebagai pemain dan pelatih. Di dua jalan berbeda tapi bersisian itu, Cruyff melegenda bersama Ajax Amsterdam dan Barcelona.

Dari situ kita tahu bahwa tak banyak maestro sepakbola yang bertahan lama dan berhasil menjadi pelatih. Sebab mengulang kesuksesan pada posisi yang berbeda memang tidak mudah. Bagi manusia-manusia pilihan macam mereka, mengalihkan ego dari tengah lapangan ke pinggir lapangan bisa menimbulkan pergolakan batin tersendiri. Dalam proses itu, mereka seolah ada di persimpangan jalan.

Batas antara keberhasilan dan kegagalan karier kepelatihan para maestro adalah sejarah permainan mereka. Kala menyeberangi batas tersebut, simpul-simpul psikologis mereka bekerja. Jika ia berhasil menyerap banyak ilmu dari permainan yang ia geluti sendiri, kans untuk sukses tentu menjulang. Namun semisal gagal merefleksikannya, eksistensi para maestro sebagai juru taktik juga lebih cepat meredup.

Maestro yang dengan tenang berhasil mengejawantahkan ekspektasi publik di lapangan hijau, saya pikir akan lebih berhasil di ranah kepelatihan daripada seorang maestro yang terburu-buru dan kerap menonjolkan egonya. Cara mereka menangani masa kini dan masa lalu, pada akhirnya akan memengaruhi visinya sebagai pelatih. Tanpa itu, yang ada hanya romantisme kejayaan masa lampau yang dihantui kegagalan demi kegagalan di masa kini.

Komentar
Jurnalis sekaligus penggemar Serie A yang tinggal di Solo. Dapat disapa dan diajak berdiskusi via akun Twitter @taufiknandito