“Mbah iku wis limolas taun moco koran no kene mas. Kadang tuku koran kadang mung diwaca (kakek itu sudah lima belas tahun baca koran di sini mas. Kadang beli koran kadang hanya dibaca),” ujar Winarto, seorang penjual koran eceran yang saya temui di kota Sragen akhir Juli 2015. Winarto yang berjualan koran di perempatan pasar Nglangon Sragen mengaku telah berjualan koran sejak tahun 2000. Dari Winarto dan amatan saya sembari minum teh di warung hik yang berada di samping lapak Winarto, saya menjadi tahu banyak hal tentang distribusi koran di garda terdepan dan bagaimana perilaku para pembaca koran yang datang ke lapak kaki lima milik Winarto.
“Kalau BBM –Bahan Bakar Minyak– harganya naik, pelanggan saya jadi berkurang. Mereka berhenti, alasannya harga kebutuhan hidup naik,” keluh Winarto. Sang pendagang eceran itu lalu bercerita, kali pertama berjualan koran ia memiliki 20-an pelanggan Jawa Pos. Kini pelanggan Jawa Pos yang tiap hari didatanginya untuk mengantar koran ini tinggal 15 orang.
Jawa Pos baginya memberi keuntungan yang besar. Setiap eksemplar koran ini, Winarto bisa mendapatkan uang Rp 1.500. Sedangkan koran lain hanya Rp 400 sampai Rp 1.000 per eksemplar yang berhak didapatkannya. Tingginya marjin ini berbanding lurus dengan risikonya sebagai distributor terdepan peredaran koran. Jawa Pos menganut sistem non-retur, jadi jika tidak laku, pengecer harus menanggung kerugian karena tidak bisa dikembalikan ke agen.
Sementara koran yang mengalokasikan marjin tipis pada pengecer bisa diretur ke agen, jadi risiko rugi menjadi tipis juga. Untuk mengantisipasi risiko kerugian pada koran non-retur, pengecer memilih mengambil stok dalam jumlah pasti sesuai jumlah pelanggan yang membayar bulanan maupun “pelanggan” yang beli eceran.
Terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sragen menjadi area yang diperebutkan oleh koran lokal maupun nasional. Letaknya yang dekat dengan Solo menjadikan pembaca koran di Sragen akrab dengan koran lokal terbitan Solo yaitu Solopos dan Joglosemar.
Sebagai bagian paling timur Jawa Tengah, koran dari ibukota propinsi Suara Merdeka tetap berusaha menjaga penguasaan pasarnya di kota Sragen. Jawa Pos, koran dari Surabaya dengan bandrol harga paling mahal Rp 6.000 untuk setiap eksemplarnya mendekati pembaca di Sragen dan kota-kota lain di bilangan Solo Raya dengan suplemen Radar Solo. Selain koran-koran tersebut, Kompas juga tersedia di para pengecer koran di Sragen. Selain koran umum, koran dengan segmentasi khusus yang masuk ke Sragen adalah Harian BOLA. Winarto berkisah bahwa koran TopSkor pernah masuk ke Sragen, namun tidak bertahan lama, alasannya karena datangnya terlalu siang.
Sirkulasi koran menjadi ranah yang menarik untuk kita dedah. Di Sragen, para pengecer seperti Winarto mengambil koran jam 05:00 sampai dengan 06:00 WIB di agen koran. Mobil-mobil box membawa ribuan eksemplar koran dari mesin cetak perusahaan koran dari satu kota ke kota lain. Bagi koran yang dicetak di Semarang, seperti Suara Merdeka tentu harus menempuh perjalanan lebih jauh daripada Solopos, Joglosemar dan Jawa Pos yang dicetak di Solo. Jarak Solo ke Sragen saat subuh bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam, sedangkan Semarang ke Sragen bisa lebih dari dua jam. Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ) yang dikembangkan Jawa Pos sejak dekade 1990-an membuat koran ini sukses melakukan perluasan pembaca di daerah, termasuk Sragen. Sistem yang kemudian diikuti oleh konglomerasi pers nasional yang memiliki kekuatan finansial seperti Kelompok Kompas Gramedia (KKG).
Kedekatan geografis antara mesin cetak, agen koran dan pengecer menjadi kunci memotong jalur distribusi. Koran yang masih dicetak di kota penerbitan lalu dikirim via paket pesawat semakin tertinggal untuk sampai ke pembaca. Winarto menuturkan bahwa bagi pengecer yang penting koran sampai ke agen tepat waktu, sehingga bisa segera dijual ke pembaca.
Membaca berita olahraga
“Dulu pas masih ada tabloid Soccer, banyak anak sekolahan yang beli. Mereka suka baca Soccer soalnya bahasanya cocok dengan anak SMA,” ingat Winarto tentang tabloid Soccer yang pernah tersedia di lapaknya. Soccer kini sudah tidak terbit.
Selain Soccer, TopSkor yang terbit harian juga pernah masuk ke Sragen, namun karena datangnya terlalu siang, sekali lagi, koran ini ditinggalkan pembaca koran di lapak Winarto. Bagi pengecer seperti Winarto, jam kedatangan TopSkor yang tidak berbarengan dengan koran lain juga merepotkannya karena harus balik ke agen untuk mengambilnya di luar jam reguler pengambilan koran di agen.
Satu hal lagi yang diingat oleh Winarto tentang Soccer adalah kedatangan tabloid ini yang terlalu sempit dengan waktu edarnya. Soccer datang di agen Jumat siang jam 11:00. Setiap hari Winarto buka lapak jam 06:30 sampai dengan 15:00 WIB, jadi pada hari Jumat hanya ada waktu empat jam. Ditambah hari Sabtu, waktu edar Soccer di lapak Winarto terbilang mepet. “Kalau saja Soccer sudah datang hari Kamis, pasti lebih enak jualnya,” kenang Winarto.
Kini, hanya BOLA yang dijual Winarto. Penggemar sepak bola juga ada yang memilih koran umum yang memiliki rubrikasi sepak bola yang banyak, seperti Jawa Pos. Pernah koran Sindo dijual di lapaknya, namun Winarto mengaku bahwa pembaca yang datang ke lapaknya merasa tidak pas dengan berita sepak bola di koran ini yang lebih banyak mengekspos pertandingan sepak bola yang disiarkan di stasiun televisi milik konglomerasi Media Nusantara Citra (MNC), sedangkan pertandingan sepak bola di stasiun televisi lain kerap mendapat porsi berita yang kurang setara. Ujungnya pembaca kecewa, begitu cerita Winarto. Menurutnya sebenarnya koran Sindo mirip Jawa Pos dalam berita sepak bola dan harganya lebih murah, namun karena alasan di atas para pembaca koran di lapaknya tetap memilih berlangganan Jawa Pos yang harganya lebih mahal.
Penjualan koran di lapak Winarto merangkak naik ketika ada pertandingan sepak bola yang akan disiarkan langsung di televisi. Pertandingan Liga Inggris, Liga Spanyol dan Liga Champions, apalagi yang berkelas big match, menjadi jaminan bagi kenaikan penjualan koran. Harian BOLA dan Jawa Pos disebutnya sebagai koran yang menjadi pilihan konsumen menjelang laga besar. Ulasannya yang mendalam disebut Winarto sebagai hal yang menarik bagi pembaca. “Mungkin mereka butuh analisis untuk nebak skor,” selorohnya. Di tengah gempuran berita sepak bola di media daring, analisis sebelum pertandingan yang tajam agaknya yang tetap membuat media cetak bertahan.
Hampir satu jam kami berbincang. Kakek tua yang datang dengan sepeda tuanya menutup koran yang dibacanya. Dengan rapi ditatanya koran yang dibacanya, lalu pergi tanpa membeli koran. Sebelum saya bertanya, Winarto menjelaskan bahwa di lapaknya orang boleh membaca koran tanpa membelinya asal dikembalikan dengan rapi. Alih-alih mengunci koran dengan staples, Winarto membiarkan koran terbuka sehingga bebas dibaca siapa pun.
“Rezeki sudah diatur Gusti Allah,” terangnya. Di warung hik, pengunjung berbincang tentang pertandingan Real Madrid vs Manchester City dalam tur pra musim 2015. Pertandingan yang menjadi berita utama di halaman depan Harian BOLA. Globalisasi sepak bola membuat liga-liga top Eropa semakin dekat di hati pembaca koran di daerah. Bahkan, transfer pemain di benua biru pun menjadi perbincangan pembaca koran yang sedang nongkrong di warung hik di samping lapak koran Winarto.