Fluktuasi Chauvinisme dalam Transfer Borussia Dortmund

Fluktuasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gejala yang menunjukkan turun-naik harga yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Jika dalam ilmu ekonomi, fluktuasi berarti perubahan harga yang disebabkan oleh langkanya suatu barang yang bisa mengakibatkan barang tersebut harganya naik beberapa kali lipat, maka fluktuasi bisa juga merambah ke dalam beberapa paham ideologi di antaranya chauvinisme yang dianut oleh Borussia Dortmund. Jadi segala tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh Dortmund ini pasti pernah mengalami fluktuasi dalam bentuk apa pun.

Chauvinisme adalah suatu kesetiaan kepada salah satu pihak atau keyakinan tanpa mau mempertimbangkan pandangan lain sebagai alternatif atau pun opsi lain yang lebih baik ketimbang opsi pertama. Chauvinisme ini bisa diartikan juga sebagai sikap yang hanya percaya dan menganggap satu pandangan saja tanpa memikirkan baik buruknya pandangan lain. Istilah chauvinisme ini pertama kali populer oleh seorang Prancis bernama Nicolas Chauvin yang sangat setia kepada Napoleon Bonaparte sebagai atasannya, meskipun Napoleon mengalami kekalahan Chauvin tetap setia mengabdi kepadanya. Sejak saat itulah istilah Chauvinisme diartikulasikan sebagai sikap loyal atau setia kepada salah satu pihak seperti yang ditunjukkan Chauvin kepada Napoleon.

Singkatnya bahwa paham chauvinisme bisa mempengaruhi sebuah klub sepak bola dari segi transfer pemain maupun pelatih dan direksi sampai-sampai dengan komposisi skuat termasuk juga Dortmund. Dortmund dijadikan sebagai contoh karena adanya fluktuasi chauvinisme dalam perkembangan klub ini satu dasawarsa silam. Sedangkan skup temporal dalam penulisan ini terjadi pada tahun 2000 hingga 2015 karena adanya fluktuasi chauvinisme dalam diri Dortmund.

Era Mathias Sammer

Medio 2000-an Dortmund masih belum banyak dikenal orang kecuali yang mengikuti perkembangan Bundesliga dari tahun ke tahun, pada masa kepelatihan Matthias Sammer yang berumur empat musim ini fluktuasi chauvinisme masih belum terlalu kental dalam diri Dortmund. Di mana pada kepelatihan Sammer yang sekarang menjadi direktur olahraga Die Bavarian ini bisa disimpulkan bahwa dari empat musim tersebut pergerakan transfer Borussia Dortmund masih bersifat statis dan tidak terlalu mengutamakan rekrutan berkebangsaan Jerman.

BACA JUGA:  Menimbang Kehadiran Eric Bailly di Manchester United

Musim 2001 dan 2003 adalah musim di mana Dortmund lebih tertarik mendatangkan pemain non-Jerman. Musim 2001 Dortmund mendatangkan Marcio Amoroso, Ewerthon, Jan Koller, Evanilson, Guy Demel, Ahmed Madouni dan Leandro yang non-Jerman. Sedangkan pada musim 2003 Dortmund mendatangkan Evanilson, Niclas Jensen, Andre Bergdolmo, Guillerme Warmuz, Flavio Conceicao, Thiago, Salvatore Gambino dan Conor Casey.

Selain transfer, yang memengaruhi komposisi skuat Dortmund adalah adanya pemain yang kembali dari masa pinjaman atau pemain muda yang promosi ke tim utama. Selama empat musim, skuat Sammer lebih didominasi pemain berkebangsaan Jerman ketimbang non-Jerman. Hanya pada musim terakhirnya, skuat Die Borrusen lebih banyak diisi oleh pemain non-Jerman, yakni sebanyak 16 pemain yang berasal dari Aljazair, Turki, Norwegia, Brasil, Pantai Gading, Argentina, Ceko, Ghana, dan Italia. Dan dalam kepelatihan Sammer, komposisi skuat Dortmund selalu berisikan dari 9 negara berbeda dan 4 benua berbeda.

Era Bert van Marwijk

Chauvinisme mulai mempengaruhi perilaku Borussia Dortmund dalam masalah memburu pemain di bursa transfer pada masa kepelatihan Bert van Marwijck selama dua musim dan Thomas Doll yang hanya semusim. Pada rentang waktu 2004-2006 tercatat pada setiap musimnya Dortmund mendatangkan 15 pemain berkebangsaan Jerman, hanya berbeda satu pemain dengan pemain non-Jerman.

Chauvinisme sempat memudar dalam diri Dortmund ketika tampuk kepelatihan diambil alih oleh caretaker Ronny Teuber pada musim 2007 yang memilih mendatangkan tujuh pemain non-Jerman, Mladen Petric, Jakub Blaszczykowski, Antonio Rukavina, Diego Klimowicz, Giovanni Federico, Robert Kovac, Daniel Gordon dan Derlon Buckley berbanding tiga pemain berkebangsaan Jerman. Tapi, komposisinya tetap banyak pemain Jerman, yakni 17 berkebangsaan Jerman dan 16 pemain non-Jerman.

Era Jurgen Klopp

Sempat menurun, chauvinisme kembali diagung-agungkan oleh pelatih nyentrik berkebangsaan Jerman yaitu Jurgen Klopp. Selama tujuh musim memegang kendali, Klopp selalu mengutamakan chauvinisme dalam pergerakan di bursa transfer. Dari tujuh musim tersebut total Klopp mendatangkan 44 pemain berkebangsaan Jerman berbanding 36 pemain non-Jerman. Pada musim 2012-lah Klopp menunjukkan chauvinismenya dengan mendatangkan 10 pemain Jerman, mulai dari Marco Reus, Schieber, Bittencourt, Kirch, Gunter, Alomerovic, Stiepermann, Hornschuh, Soblech hingga Ginczek.

BACA JUGA:  Transfer Gila-Gilaan dan Pengaruhnya Terhadap Prestasi

Tapi, ada fakta unik di mana pada musim perdananya, Klopp menggunakan jasa 22 pemain non-Jerman berbanding 12 pemain Jerman. Baru pada 2009 komposisinya berubah dengan 19 pemain Jerman ditambah 13 pemain non-Jerman. Tapi, musim berikutnya pemain non-Jerman lebih banyak satu dengan skuat yang terdiri dari pemain yang berasal dari lima benua yang berbeda.

Setelah musim 2010, seolah-olah chauvnisme semakin melekat dalam diri Dortmund di mana empat musim berikutnya bisa dipastikan pemain asal Jerman selalu lebih banyak daripada pemain non-Jerman dalam skuat Dortmund walaupun berasal dari lima benua berbeda. Penurunan paling hanya terjadi pada musim 2011 di mana presentasi pemain Jerman dan non-Jerman berada di angka yang sama, yaitu 14 pemain.

Namun sepeninggal Klopp, chauvinisme tetap terasa di era kepemimpinan Thomas Tuchel. Meski Dortmund hanya mendatangkan empat pemain Jerman yang sama jumlahnya dengan pemain non-Jerman, komposisi skuat masih didominasi pemain Jerman dengan jumlah 15 berbanding 10 non-Jerman. Pada tahun-tahun awal seperti ini memang belum bisa dijadikan sebagai acuan karena lebih bijak apabila menilai jika sudah benar-benar berakhir masa melatihnya.

Dapat disimpulkan bahwa, fluktuasi chauvinisme yang ditunjukkan Dortmund dalam bursa transfer yang tercermin pada perekrutan pemain berkebangsaan Jerman mengalami fase naik turun tergantung kebijakan yang diberlakukan oleh direksi atau permintaan dari pelatih serta melihat kebutuhan tim itu sendiri. Jadi, chaunivisme Dortmund pantas dinilai tak tentu arah.

 

Komentar
Mahasiswa jurusan sejarah yang sedang berusaha menyelesaikan studinya di salah satu universitas di semarang, penikmat sepakbola dari layar kaca setiap minggunya dan mantan pemain futsal tingkat jurusan.