Menapaki Jalan Sukses Manchester United

MANCHESTER, UNITED KINGDOM - MAY 29: The statue of Manchester United's 'Holy Trinity' of players stands in front of Old Trafford after being unveiled today on May 29, 2008, Manchester, England. The statue of United legends Bobby Charlton, Denis Law and the late George Best comes 40 years to the day since the club first lifted the European Cup. Charlton, Best and Law scored 665 goals between them for United and between 1964 and 1968, all won the coveted European Footballer of the Year award. (Photo by Christopher Furlong/Getty Images)

Jauh sebelum Manchester United mengalami era buruk sepeninggal Sir Alex Ferguson, mereka bisa dibilang sebagai klub tersukses dan dicintai banyak orang dari lintas negara. Maka tak mengejutkan jika image Setan Merah sebagai klub besar masih bertahan hingga sekarang dan menjadi salah satu yang bergelimang harta. Masa-masa gemilang mereka bertepatan dengan banyak momen penting dalam sejarah dunia maupun peristiwa krusial di sepakbola. Jadi, apa yang membuat United begitu digdaya secara finansial hingga sekarang?

Dibentuk oleh kalangan buruh kereta api dengan nama Newton Heath FC pada 1878, seabad kemudian menjelma jadi raksasa korporasi di bidang olahraga. Warna kebesaran hijau-emas mereka menjelma jadi merah membara dengan penghasilan mencapai jutaan euro tiap tahunnya. Sebuah video esai dari Athletic Interest memuat penjelasan naratif yang runut untuk menjelaskan bagaimana cara United mencapai kejayaan.

Privilege yang dirasakan United saat ini merupakan buah perjalanan panjang dalam sejarah. Plus, faktor keberuntungan tak bisa dipisahkan. Semua kebetulan yang menjadi bagian dari kesuksesan klub dimulai sejak era Sir Matt Busby yang menukangi Setan Merah selama periode pertama medio 1945-1969 dan kembali ke Old Trafford pada paruh kedua musim 1970/1971. Periode 1950-an menjadi era tersukses United di bawah tangan Matt Busby. Slogan Youth, Courage, Success ia tanamkan untuk klub yang berganti nama menjadi Manchester United pada 1902 itu.

Busby memulainya dengan skuad muda yang kemudian dikenal sebagai Busby Babes, sebuah tim yang terdiri dari pemain muda tanpa bintang hasil pantauan scouting klub oleh Joe Armstrong dan asisten manajer, Jimmy Murphy. Hasilnya, Busby bersama skuad generasi emasnya itu menorehkan prestasi mentereng dengan tiga trofi Divisi Utama Inggris (sekarang Premier League) dan lima gelar Piala FA. Semua berjalan sempurna bahkan hingga Bobby Charlton dan kolega lolos ke semifinal Piala Eropa (Liga Champions) pada 1958, tepat di mana tragedi Munich terjadi pada 6 Februari 1958.

Kegembiraan lolos sebagai empat besar Eropa harus terenggut oleh jatuhnya pesawat British European Airways yang mereka tumpangi saat pulang ke Manchester dari Belgrade, Serbia. 8 pemain meninggal dalam kecelakaan tersebut sehingga United mengalami keterpurukan dan memantik duka mendalam yang menyebar ke seantero negeri hingga negara lainnya. Sang manajer, Matt Busby mengalami kondisi kritis dan dirawat selama dua bulan lamanya. Dukungan dan apresiasi tak henti-hentinya diberikan untuk Manchester United yang tengah mengalami salah satu tragedi paling parah dan menyakitkan di dunia sepakbola. Namun, peristiwa itu juga menjadi titik balik kebangkitan mereka untuk mencapai kesuksesan.

Bobby Charlton, legenda klub dan salah satu anggota Busby Babes yang selamat dari tragedi Munich bahkan sempat berujar, “Sebelum tragedi Munich, United adalah klub Kota Manchester, setelahnya semua orang merasa menjadi bagian kecil dari Manchester United.” Peristiwa kelam itu kemudian selalu terkenang oleh seluruh insan sepakbola seiring juga dengan naiknya pamor Inggris pada 1960-an ditandai oleh The Beatles yang naik daun, James Bond yang mendunia, dan Inggris yang sukses menjuarai Piala Dunia pada 1966. Anglofilia menjadi tren saat itu ketika semua orang di dunia menaruh perhatian pada Inggris dalam berbagai aspek seperti bisnis, hiburan, dan tak terkecuali sepakbola. Bersamaan dengan momen itu, tragedi Munich yang dialami United menciptakan ikatan emosional yang besar dan empati mendalam dari seluruh masyarakat dunia.

BACA JUGA:  Bertahanlah di Old Trafford, Pogba!

Keuntungan kedua yang menjadi bagian dari jalan sukses United tercipta berkat sebuah konsep country-of-origins advantages. Seperti yang kita tahu, Prancis dan Milan dikenal sebagai kota mode, Amerika sebagai produsen komputer terbaik, Jerman negeri otomotif, dan Jepang yang maju dalam elektronik. Inggris termasuk di dalamnya sebagai negara tempat lahirnya sepakbola modern. Oleh karena itu hingga kini selalu muncul slogan “Football’s Coming Home” tiap kali Inggris meraih kesuksesan di level Eropa maupun dunia meski sepakbola pertama kali ditemukan di Cina. United turut menikmati profit itu dengan menjadi klub tersukses sekaligus ikon sepakbola di dataran Inggris.

Kejayaan United belum sepenuhnya pulih dari tragedi Munich, hingga akhirnya pada 1986 Sir Alex Ferguson ditunjuk sebagai nahkoda anyar menggantikan Ron Atkinson yang dipecat setelah performa buruk yang dialami oleh klub. Meski terseok-seok di awal kedatangannya, Fergie pada akhirnya sukses mengembalikan tradisi klub dengan membentuk generasi emas yang kemudian kita kenal sebagai Class of 92, lalu diikuti dengan dua bintang lapangan mereka, Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney beberapa tahun setelahnya. 13 trofi Premier League, 5 gelar FA Cup, dan 2 kali juara Liga Champions mewarnai dominasi United selama di bawah kepemimpinan Fergie.

Dominasi itu secara tak sengaja juga bertepatan dengan berkembangnya industri televisi sehingga hak siar pertandingan sepakbola menjadi komoditas utama yang menguntungkan. Liga Inggris menjadi kompetisi sepakbola dengan nilai hak siar tertinggi sepanjang sejarah, mengalahkan Piala Dunia dan liga top Eropa lainnya. Hal itu juga yang memicu revolusi pergantian kompetisi dari yang awalnya di First Division (Divisi Utama Inggris), klub kontestan memilih memisahkan diri dan berpindah ke Premier League pada 1992 yang disebabkan oleh kesepakatan hak siar televisi dengan proyeksi yang sangat menguntungkan. Sosok dibalik perubahan itu adalah Rupert Murdoch, bos raksasa media Sky UK (BSkyB) yang mengalahkan ITV dalam perburuan hak siar dengan nilai kesepakatan mencapai 304 juta paun, nilai yang fantastis di masa itu.

Namun tak butuh lama bagi Murdoch agar balik modal. Setahun kemudian Murdoch mendulang profit hingga 60 juta paun dan nilainya terus meningkat di musim-musim berikutnya. Pada 2021 lalu bahkan nilai kesepakatan hak siar Premier League mencapai angka 11,6 miliar euro atau jika dirupiahkan mencapai 191 triliun. Perkembangan yang juga menguntungkan bagi para klub kontestan Premier League, khususnya Manchester United yang mendominasi sepakbola Inggris selama lebih dari dua dekade sejak dipegang Ferguson. Wajar bila Setan Merah juga menjadi klub Inggris dengan basis fans terbesar di dunia dan lima besar klub dengan perolehan pendapatan tertinggi tiap musimnya.

BACA JUGA:  Italia dan Bayang-Bayang Kegagalan di Piala Eropa

Kepemilikan Murdoch terhadap media Amerika Serikat, FOX Sports dan sejumlah kesepakatan dengan media di Asia menjadikan jangkauan Premier League semakin luas ke seluruh penjuru dunia. Tak hanya dari hak siar, hal itu juga menjadikan pemasaran berbagai produk klub seperti merchandise dan lisensi produk lainnya yang bekerja sama dengan sponsor laris manis diburu para penggemar. Periode dominan United yang berjalan selaras dengan perkembangan industri sepakbola membuat mereka kaya secara finansial. Bandingkan dengan klub sukses lainnya semisal Nottingham Forest yang berjaya di era 80an, tak mengalami perkembangan signifikan sebagai klub dan perusahaan di bidang olahraga.

Namun kesuksesan United juga tak hanya berasal dari sejumlah kebetulan di momen krusial. Para ahli menyatakan ada empat faktor utama yang mendasari kesuksesan sebuah klub sepakbola yakni sejarah, prestasi atau trofi, stadion, dan pengakuan dunia. Salah satu faktor yakni prestasi kini sedang diperjuangkan oleh Setan Merah setelah ditinggal Fergie. Urusan sejarah, stadion, dan pengakuan dunia tak perlu diragukan lagi. Selama 20 tahun sebelum pandemi, tiket pertandingan Old Trafford sebagai stadion terbesar kedua di Inggris selalu habis terjual nyaris di tiap laga yang dijalani United.

Marketing mereka juga berjalan secara brilian. Martin Edwards (Komisaris) dan direktur marketing internasional klub yang digawangi oleh Peter Kenyon dan Peter Draper menjadi sosok kunci di balik evolusi United menjadi korporasi olahraga besar dunia. Sejak bergabung pada 1980, mereka lah yang mendorong strategi marketing klub ke level yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Salah satunya dengan penjualan merchandise non-sepakbola yang menggunakan lisensi klub sampai ke kebijakan tur pramusim yang selalu dijalani oleh klub tiap tahunnya. Presiden Real Madrid, Florentino Perez bahkan pernah memuji langkah strategis United dalam hal marketing sebagai yang terbaik dan lebih maju 10 tahun dari strategi marketing klub sepakbola kebanyakan.

Jadi, meski punya pemilik pelit dan banyak utang, performa surut, dan terseok-seok selama hampir satu dekade ke belakang, United tetap mampu mendulang pendapatan yang besar. Semua diperoleh dengan jerih payah dan sepak terjang mereka di industri sepakbola. Sejarah yang kuat, dominasi prestasi yang bertepatan dengan perkembangan industri, stadion ikonik nan megah, dan terakhir yang sedang menjadi krisis yakni perolehan trofi. Maka pertanyaannya, apakah United tetap bisa sukses bila terus puasa gelar?

Komentar