Museum Hidup Bernama Stadion Sultan Agung

Makin hari, makin kering saja tanah-tanah di Bantul lantaran hujan yang enggan datang dan membasahi sawah-sawah permainya. Sawah dan sungai yang kian mengering menjadi lebih sentimental manakala sepakbola Bantul juga sama keringnya. Semua berkaitan dengan Persiba, baik secara prestasi maupun eksistensi. Padahal situasi berbeda justru dipamerkan dengan gagah oleh Stadion Sultan Agung.

Persiba adalah lakon utama dalam tulisan ini. Sebuah lakon yang sedang menjalani fase hidup dan klimaks cerita saat penderitaan silih berganti untuk datang. Entah sebuah film yang menggambarkan derita tokoh utama hanya dalam tempo singkat atau malah sebuah opera sabun yang tidak ada ujungnya. Satu yang jelas, Persiba sedang tidur.

Ia menguap begitu saja. Menghilang tanpa bekas. Hanya menyisakan riuh rendah ketika cuplikan video direkomendasikan oleh laman berbagi video YouTube. Melihat kembali tribun Stadion Sultan Agung yang memerah membawa panji-panji Bantul. Bukan penuh oleh panji tim lain, bukan teriakan yang menyebutkan tim yang singgah dan menyewa stadion yang dibangun tahun 2004 ini.

Kalau mau membahas lebih kompleks, sepakbola Yogyakarta sangatlah ramai. Setidaknya ada tiga warna yang dominan. Hijau di utara, biru di tengah dan sisi selatan yang dipunyai warna merah. Khusus buat Si Merah, kesebelasan tersebut bahkan pernah mengangkat piala ketika saudara mereka kesulitan menemukan performa terbaik pasca-gempa Bumi yang melanda Yogyakarta medio 2006. Mendaku sebagai pendukung Persiba, rasanya tidak pernah sebegitu memalukan layaknya sekarang.

Stadion Sultan Agung pun pernah menjadi singgasana dan tiap pekan jadi tempat menjemput kemenangan. Tiada matchday tanpa gegap gempita. Lesatan Fortune Udo dan kepiawaiannya mencetak gol serta liukan manis sang Messiah Projotamansari, Eze Gonzales, berikut umpan-umpannya yang sangat aduhai jadi rona yang membuat sepakbola Bantul bergairah. Rakyat di sana pun bersorak tiada henti sampai akhirnya politik merangsek masuk dan mengubah Stadion Sultan Agung bak museum hidup semata.

BACA JUGA:  Melihat Kehebatan De Toekomst

Memisahkan sepakbola dan politik tampaknya memang mustahil. Di Bantul sendiri, politik sudah hidup dengan subur ketika nama Persiba sedang naik daun. Apalagi sepakbola Bantul pernah digoyang adanya dua kompetisi di tanah air. Kompetisi legal jadi ilegal, liga yang tidak sah menjadi sah. Pilihan Persiba benar tetapi salah. Berkubang dalam kompetisi nggak jelas mengantarkan mereka pada titik nadirnya seperti sekarang. Ndlungup (terperosok) menuju Liga 3. Kata orang Bantul hal ini ra mbois tenan (tidak keren).

Namun berbicara Sultan Agung, stadion ini tetap ramai tiap Minggu. Sayangnya, tak ada atribut merah khas Persiba. Keramaian itu tercipta lantaran berjubelnya para pedagang yang berjualan, muda-mudi seantero Bantul yang sowan guna memadu kasih, sampai para orang tua yang membawa putra-putrinya untuk berolahraga.

Padahal dahulu, mereka yang datang juga membawa ambisi besar di dada. Para pesepakbola muda yang adu bakat demi beroleh lirikan dari manajemen Persiba. Sekarang, cuma muncul satu pertanyaan di kepala, kapan hawa ambisius pemuda Bantul bergelora seperti itu lagi?

Kini, membusungkan dada di hadapan Protaba yang notabene berasal dari jeroan Persiba sendiri saja tak mampu dilakukan. Maka di depan PSIM atau PSS, Laskar Sultan Agung tak ubahnya anak bawang atau kurcaci. Di musim terakhir Liga 3 Nasional, Persiba terjerembab di posisi buncit. Andai saat itu ada degradasi, ya, mereka bakal jumpa dengan Baturetno. Itu pun saya ragu Persiba dapat mengalahkan Baturetno.

Pada sore hari, Stadion Sultan Agung juga tetap menampakkan derak kehidupannya. Sekali lagi, bukan karena sepakbolanya atau Persiba, melainkan para pemuda yang menjajal ketangguhan motor matic yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Beberapa mobil lalu lalang karena dikemudikan oleh mereka yang sedang belajar nyetir.

BACA JUGA:  Mengoleksi Jersey Klub Indonesia Memberi Sensasi Tersendiri

Beberapa waktu lalu, Stadion Sultan Agung bergemuruh. Ramainya setara dengan kisah yang telah lalu. Menghidupkan kembali perekonomian warga yang ada di sekitarnya. Para pedagang berkumpul, menjajakan makanan, minuman, atribut hingga tikar anyaman. Namun yang bikin kesedihan kian larut, bukan Persiba yang menghidupkan itu semua, melainkan tim-tim lain yang menyewa stadion ini sebagai kandang alternatif.

Ada sebuah narasi lucu tatkala sebuah tim Liga 1 sedang mencari massa dukungan. Mereka pernah hadir di tanah Bantul dan memakai nama besar Stadion Sultan Agung sebagai markasnya. Harapannya jelas, masyarakat Bantul memberikan dukungan kepada mereka. Namun semuanya sia-sia karena Bantul itu, bagaimanapun bobroknya, tetap dimiliki Persiba.

Embel-embel timnya rakyat Bantul atau apapun, takkan pernah beroleh dukungan layaknya yang didapat Persiba. Jika Persiba yang berlaga di Stadion Sultan Agung, maka animonya dijamin luar biasa. Kalau bukan, lebih-lebih mereka yang memang tak punya basis fans besar, maka Stadion Sultan Agung tak ubahnya kuburan yang sunyi walau ada pertandingan.

Kegagalan itu pula yang akhirnya mendorong klub tersebut hijrah ke barat. Tidak untuk mencari kitab suci, tapi dukungan yang lebih berarti. Walau pada kenyataannya, tetap berupa fanatisme semu.

Rasanya sudah lama sekali tak melihat banner Wahyu Wijiastanto terpasang di pagar tribun. Stadion Sultan Agung seolah kehilanganya jiwanya yang bernama Persiba. Bahkan kalau dilihat-lihat, pohon-pohon rindang di sekitar stadion tampak lebih elok ketimbang nasib klub yang berdiri tahun 1967 tersebut.

Menjadi sebuah pembelajaran yang rasanya akan terus relevan dengan sepakbola kita. Kebangkitan yang dihadirkan oleh politisi itu sifatnya hanya sementara. Jangan percaya seutuhnya lantaran ketika jatuh, rasa sakit dan njaremnya sampai ke ulu hati.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa