Masihkah Sergio Pizzorno Mencintai Leicester City?

Sebelumnya mari kita ucapkan selamat ulang tahun untuk Sergio Pizzorno, gitaris Kasabian, yang 15 Desember lalu berulang tahun yang ke-35. Kado istimewa buat Serge karena klub yang dicintainya Leicester City bermain ciamik musim ini yang hingga pekan ke-17 kokoh di puncak klasemen.

Kecintaan frontman Kasabian kepada Leicester City ini bukan tanpa alasan. Selain karena bandnya Kasabian lahir di kota Leicester, yang jadi alasannya adalah “Serge menganggap Leicester City adalah sampah. Ini merupakan salah satu alasan terbesar untuk mendukung klub dengan julukan The Foxes tersebut. Baginya, menggemari klub “kurcaci” jauh lebih menggembirakan karena setiap peraihan yang dicapai akan lebih terasa manis.” Begitu alasannya seperti yang dikutip dari Warning Magazine edisi September 2014.

Lebih lanjut Serge akan keberatan jika saja Leicester City berkembang menjadi klub yang memiliki pondasi ekonomi yang kuat. Jadi pertanyaan selanjutnya tentu saja, apakah Serge Pizzorno tetap mencintai Leicester City, dengan prestasi saat ini yang berimbas pada keuangan klub yang terancam stabil karena sponsorship dan King Power Stadium yang selalu penuh setiap pertandingan musim ini.

Melimpahnya sponsor Leicester City bisa dilihat dari situsweb resmi Leicester City. Bahkan jika Leicester City juara Liga Inggris musim ini, klub akan mengganjar pencapaian manajer Claudio Ranieri dengan bonus sebesar 1,7 juta poundsterling.

Bagi Pizzorno semangat fanatisme para pendukung Leicester City semata-mata digerakkan oleh passion. Hal ini pun jadi inspirasi terbesar dari pendekatan artistik setiap karya Kasabian. Days are Forgotten jadi salah satu video klip Kasabian yang punya artistik yang keren dan begitu menarik dinikmati.

Adalah Sigmund Freud yang berpendapat bahwa fanatisme itu berakar dari kebuasan naluriah dasar manusia yang didasari oleh insting Eros dan insting Tanatos. Insting Eros menandakan manusia ingin tetap hidup, sedangkan insting Tanatos menggerakkan manusia untuk siap mati terhadap sesuatu. Kedua insting ini menurut Freud saling bertolak belakang.

BACA JUGA:  Seperti Rangga untuk AADC, Arsene Wenger (Mungkin) Tak Tergantikan bagi Arsenal

Dalam fanatisme sepak bola (terhadap klub, ideologi maupun pemain) tentu saja bisa kita lihat insting Tanatos ini sering bekerja. Baik itu sepak bola dalam negeri maupun sepak bola latin dan benua biru.

Insting Eros sekumpulan manusia dalam kelompok suporter juga menjadikan media sepak bola jadi alat pemersatu. Ini pernah dilakukan oleh Didier Drogba untuk menghentikan perang di negaranya. Bukti kecintaan lainnya bisa kita lihat dari bagaimana khusyuknya suporter mendukung timnya berlaga, entah yang langsung datang ke stadion maupun yang hanya menyaksikan dari layar kaca.

Insting Tanatos seorang Serge Pizzorno terhadap Leicester City dan sepak bola pada umumnya menjadi persepektif baru dan wawasan baru bagaimana cara mencintai sebuah klub sepak bola dengan passion.

Apalagi untuk klub yang kemarin dianggap semenjana, yang sebelumnya kita tak menaruh perhatian pada Danny Drinkwater, Danny Simpson, dan Ritchie de Laet trio eks pemain potensial akademi Manchester United. Juga pada duo Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.

Kalaupun musim ini Leicester juara Liga Inggris itu adalah kado indah atas kuatnya insting Eros Sergio Pizzorno kepada klub yang begitu menghidupi karya-karyanya, seindah golnya ke gawang David Seaman saat laga amal Soccer Aid tahun 2012.

Komentar
Penulis tinggal di kota Tarakan, Kalimantan Utara. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @adesaktiawan.